“Save Me”
By : Zury M
Immawan..
dan Immawati…
Siswa teladan, putra harapan
Penyambung hidup generasi
...
Aku memutar nyanyian itu sekali lagi. Tidak, tidak seutuhnya. Aku hanya
selalu terhenti pada bait yang ini saja;
Immawan..
dan
Immawati…
Siswa teladan, putra harapan
Penyambung hidup generasi ....
Lagi, aku mengulangnya. Mendengar lirik yang sama, memaknai pesan yang juga
sama. Tetapi, kali ini dengan debar yang berbeda.
Ada gelisah dan sepasang resah yang memainkan tarian air mata hingga membentuk
sungai kecil di wajah pucatku yang basah. Serta ada pula rindu yang seketika
memaki ingatanku, dengan teramat marah.
****
(Satu tahun yang lalu)
Aku selalu suka berdiri di depan dinding kaca Uhamka lantai 5, sambil
menyaksikan pola tak teratur dari bangunan rumah-rumah Jakarta serta menerka
tingginya gedung-gedung yang memperlihatkan keangkuhannya.
Kala itu langit Kebayoran tak seramah biasanya. Awannya sendu, anginnya pun
lesu. Semesta seperti ikut berkabung atas pilihanku memakamkan kenangan 4 semester
di kampus ini.
Hingga sebuah teriakan yang kutahu berasal dari koridor FISIP terdengar
sangat nyaring dan membuyarkan segala heningku.
"NAURAAAAAA."
"Apaaa, Bellaaa? Kurang kenceng lo treaknya." Timpalku setelah
gadis itu memanggilku dengan teriakan sadis.
"Lo ikut SBMPTN lagi ya Raa? Ko ngga bilang-bilang gue sih."
"Iya Bel, alhamdulillah ketrima di Bandung." Jelasku singkat
"Nauraaaaa, sukses di sana!!" Seru perempuan shalihah tersebut
seraya memelukku. Lagi-lagi air mataku membulatkan bekasnya di hijab
Bella, sahabat hijrah terbaik yang pasti akan sangat kurindukan nanti.
***
"Ra, kamu beneran udah yakin sama keputusanmu?" Lelaki itu
menatapku penuh tanya.
"Udah kok, aku udah yakin banget Ta." Tegasku.
"Tapi kamu ngga punya keluarga loh di sana. Nanti kalo kenapa-kenapa
gimana ngga ada yang urus? Kamu kan sering sakit, Ra."
Aku mengerti lelaki ini memang sangat mencemaskanku.
"Udahlah Ta, kamu harus percaya kalau Allah selalu jagain aku,
dimanapun aku nanti."
"Hm, iya Ra. Aku percaya, Allah pasti selalu jagain kamu."
"Tapi kamu juga harus tetep jagain aku ya Ta, di ujung sajadahmu aja
cukup." Ucapku setengah memohon.
"Iya, Naura." Putra mengakhiri keraguannya dengan sebentuk senyum
kecil yang melengkung manis.
***
Uhamka adalah kampus yang mempertemukanku dengan seorang pria bernama
Putra, serta organisasinya (IMM). Organisasi yang memberiku napas untuk
merasakan ruang hidup kembali, memberiku kesempatan mengenal orang-orang hebat
yang kaya inspirasi.
IMM adalah catatan kisah tentang bagaimana sebuah pergerakan islam mampu
mencerahkan pikiran hingga melukiskan semangat perubahan, untukku.
***
Rasanya lidahku sedikit kelu saat pura-pura menyakinkan Putra bahwa rencana
kepindahan ini akan membuat semuanya tetap baik-baik saja. Padahal bagaimana
bisa sebuah kepergian tidak menyedihkan. Apapun bentuknya, kehilangan tetaplah
menyakitkan.
Tetapi bertahan di Jakarta dengan setiap harinya harus menonton kehancuran
keluarga juga semakin membuatku jera. Muak, dengan perangai buruk orangtua yang
tak reda-reda. Terlebih mereka tak pernah mau berbaik hati dengan perubahanku
yang sekarang.
Ibu selalu menatap sinis saat menemuiku pulang kuliah mengenakan gamis.
Bapak, selalu terganggu telinganya saat mendengar lantunan ayat suci al-qur'an
ku dengungkan setiap malam.
Syukurnya Allah menghadiahkanku seorang sahabat seperti Putra, yang selalu
menguatkan langkahku dalam takwa.
Terimakasih luka, terimakasih cinta. Sungguh, kalian menjadikanku dewasa.
***
Garis waktu melaju cepat, tak terasa Bandung telah menjadi rumah baruku di
bulan ke empat.
Tak banyak kegiatan yang kulakukan di sini. Berbeda saat di Uhamka yang
selalu disibukkan dengan berbagai rapat dan kajian IMM, di sini aku memilih
menjadi kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang) yang memberiku banyak waktu
luang.
Di satu sisi aku senang, sebab Bandung jauh membuatku lebih tenang. Tak ada
lagi drama keluarga yang membuatku stress setiap hari. Tak ada lagi bising
suara pecahan perabot seperti yang dilakukan oleh Bapak dulu, juga lontaran
amarah yang sering Ibu tumpahkan padaku.
Tapi di sisi lain ...
***
"Kla, jadi mau ngerjain tugasnya dimana nih?" Aku mengirimkan
sebuah pesan singkat kepada Klara, satu-satunya teman baru yang dekat denganku
di sini.Aku tak langsung menutup handphoneku, sengaja kuscroll daftar pesan
masuk. Aku tak menemukan pesan dari Ibu atau Bapak di sana. Bahkan sebuah
misscall pun, tidak. Mereka belum merindukanku rupanya.
Ah, dengan cepat aku menepis prasangka-prasangka buruk itu. Kali ini aku
tak ingin menangis, aku tak ingin menyalahkan ketidakpedulian mereka
terhadapku, mungkin Ibu dan Bapakku memang sesibuk itu.
Aku kembali meletakkan handphone ini di atas meja belajar dan ingin segera
menemui sholat ashar.Namun sebelum sempat aku memutar balikkan badanku, tiba-tiba
ada notifikasi yang muncul dari layar sana.
A message from Putra:
Assalamualaikum,
Ra. Apa kabar? Maag kamu belum kambuh kan di sana? Sehat-sehat ya, Ra. Maaf
jarang mengabarimu, akhir-akhir ini IMM sedang banyak sekali kegiatan. Ohiya
Ra, sekarang aku dipilih menjadi ketua umum di organisasi ini. Doakan aku ya
Ra, agar aku bisa amanah dengan tanggungjawab ini. Doa terbaikku juga selalu
mengaminkan namamu.
Aku tak membalas pesan itu, kuraih mukenaku dan langsung memilih untuk
berdiri tegak menjemput sajadah yang sudah berteriak bisu.
Aku tak mengira akan tetap menjatuhkan air mata ketika usai salam kedua.
Perasaan-perasaan yang entah namanya itu tumpah dalam sekuntum doa di sore ini.
Dadaku sesak sekali saat menyadari orang-orang yang kucintai mulai larut dengan
dunianya sendiri.
Aku sangat terbiasa diabaikan oleh orangtua, tapi perih rasanya ketika
sahabat yang sebenarnya kucintai itu juga pelan-pelan mulai jauh dari
keseharianku, mulai pudar perhatiannya padaku. Ah, lemah. Padahal aku yang
memilih pergi, tapi mengapa aku seolah selalu terjebak pada memori dengan pria
itu kembali.
Handphoneku kembali berdering, sejenak menghentikan segala belenggu
kesepian yang memenjaraku sekarang.
A message from Klara
Ra, nugasnya
ntar malem aja atuh ya. Di kosan Klara aja ngerjainnya, abis isya.
Oke. Ketikku
singkat membalas pesan Klara.
***
Satu minggu setelah mengerjakan tugas di kosan Klara, aku makin lengket
dengannya, seperti sepasang adik-kakak yang kompak. Semakin sering, aku
menghabiskan waktu bersama perempuan asli sunda yang berwajah putih bersih
dengan postur tubuh ideal itu. Hingga tanpa kusadari Klara berhasil membuatku
lupa dengan segala luka dan cinta di langit Jakarta.
Namun, seperti ada yang hilang dariku. Kedekatanku dengan Klara tak ayal
justru menjauhkanku, dari Allah.
"Ntar malem ke kosan gue ya, Ra. Tapi gausah pake kerudunglah
sekali-kali, gapapa. Anak-anak sekalian pada mau party." Cetus Klara
enteng sambil menyesap batang rokoknya yang ketiga.
Aku terdiam.
Aku
berkelahi dengan diriku.
Bagaimana
bisa aku bersahabat dengan gadis ini? Ya, memang awalnya aku mendekatinya
karena miris melihat pergaulan Klara yang teramat rusak. Ingin sekali rasanya
aku menjadi lentera dakwah untuknya. Dia satu-satunya temanku di sini, tak
mungkin aku menjauhinya. Aku harus merangkulnya.
"Duh ntar malem gue mau istirahat aja, Kla. Lagi nggaenak badan
nih." Jawabku sambil mengurut-urut kepala yang padahal tidak sakit.
"Halah, klasik." Cetusnya
"Yaudahlah Ra. Lo emang ngga bener-bener pengen jadi temen gue. Lo
boong sama gue, katanya lo selalu mau nurutin kemauan gue karena lo tau rasanya
diancurin sama keluarga. Lo sama aja kaya mereka, kuno!"
Belum sempat aku mengeluarkan kalimat dari mulutku, Klara sudah enyah dari
hadapanku. Dengan cepat ia menyeret langkahnya menjauh dari garis edarku.
Bukan, aku bukan sedih ditinggalkan Klara. Aku sedih tak mampu menjadi
penopang kerapuhannya. Tak seharusnya perempuan yang suka menolong dan hobi
bersedekah walau enggan sholat itu semakin rusak. Aku gagal, menjadi temannya.
Tak lama, suara adzan menggema dari arah utara tempatku berada. Aku tunduk
sejenak, sambil merapalkan tangan lalu memohon agar Allah menjaga
keistiqomahanku.
***
Malam ini aku sangat cemas, entah apa yang kucemaskan aku tak mengerti. Mungkin
tentang Ibu, Bapak, Putra, atau bahkan .. Aku sedang mencemaskan Klara.
Lalu saat segala kecemasan ini menari-nari dengan lincahnya di kepalaku,
handphone ku berdering dan memperlihatkan sebuah panggilan dari kontak yang
kusimpan; ibu.
"Nauraa ini ibu nak. Bapak kamu, hari nikah lagi..."
"Hah?"
5 bulan aku tak mendengar kabar apapun perihal orangtuaku. Ku kira hubungan
mereka mulai membaik, ternyata itu hanyalah angan kosong yang nyatanya
berbanding terbalik.
Aku kacau. Aku kacau mendengar tangis ibuku yang meraung-raung di ujung
telfonnya.
***
"Nauraaa, dateng juga lo akhirnya kesini."
Klara menyambut kedatanganku hangat, bahkan aku dipeluk dengan sangat
erat.
Lagi-lagi, Klara membuatku tidak merasa sendirian. Perempuan itu adalah
hiburan yang tepat saat keluargaku benar-benar hancur seperti sekarang.
Tapi, ada yang berbeda saat ia memelukku. Klara tak mengusap hijabku,
ia langsung bisa menyentuh rambutku.Aku pun tak membulatkan bekas air mata di
hijabnya, seperti yang dulu selalu terjadi saat aku memeluk Bella.
Aku dan Klara sekarang adalah dua perempuan yang sama-sama; rapuh.
Esoknya, aku mendapati sebuah pesan
dari Putra,
Assalamualaikum,
Ra. Tadi malam aku melihat snapgrammu bersama teman-temanmu. Aku tidak mengenal
mereka siapa dan tak tahu bagaimana kamu bisa mengenalnya. Ra, tapi sedihnya
aku juga tak mengenalmu di sana. Kemana hijabmu, Naura?
Mataku panas, hingga perlahan airnya mengalir deras.
"Aku bahkan tak mengenal lagi diriku sendiri. Aku buta arah untuk
kembali. Bantu aku, Ta. Bantu aku."
Kali ini aku tak bisa tidak membalas pesan
Putra. Aku tahu hanya Putra
yang bisa membuatku
menjadi lebih baik.
"Naura, aku bukan alasan untukmu kembali menjadi baik. Aku juga tidak
bisa membantumu. Tanya dirimu sekali lagi, untuk siapa hidupmu selama ini?
Untuk siapa hidupmu esok hari? Kembalilah, karena-Nya. Dan jangan terlambat,
Naura."
"Aku memang seharusnya tidak meminta bantuanmu, Ta. Aku lupa kalau
kamu sudah terlalu sibuk dengan duniamu yang sekarang. Aku tidak lebih penting
kan dari urusan-urusan organisasimu itu? Bye, Ta. Kamu tidak perlu menghubungi
aku lagi."
Aku mematikan handphoneku, mencabut kartu simnya lalu melemparnya sejauh
mungkin yang ku bisa, aku tak membutuhkan siapapun di sana. Ku kira tak ada
yang bisa membuatku lebih tenang, selain Klara. Ya, aku harus segera
menemuinya.
Ku seka air mataku sambil menatap lekat-lekat wajahku di cermin yang bisu.
Perlahan aku menyisir rambutku yang panjang, ku biarkan ia tergerai dan
menyentuh udara di sekelilingnya. Sedikit make up mulai ku usap, dress yang
dibelikan Klara beberapa hari yang lalu juga sangat pas kukenakan. Aku yakin
Klara akan senang hangout dengan penampilanku yang sekarang.
Beberapa menit kemudian aku tiba di gang kosan Klara, aku tahu dia sudah
menungguku untuk pergi hari ini.
Langkahku semakin dekat dengan kosannya, hingga kini aku berada tepat di
depan pintu rumah kontrakan bercat putih yang telah kusam itu. Namun, ada
sesuatu yang mengganggu penglihatanku. Ada sesuatu, yang membuatku menelan
ludah dan terpaku sejenak.
Persis di hadapanku, kosan milik Klara saat ini dipagari garis polisi yang
khas dengan warna kuningnya yang kontras.
Tak lama aku tenggelam dalam ketegunanku, seorang ibu paruh baya yang
mengenakan daster bunga-bunga sudah berdiri di sebelahku setelah tanpa kusadari
ia telah lebih dulu menepuk pundakku.
"Neng temennya si Klara ya?" Ia memulai kalimatnya dengan nada
yang sedikit tinggi dan memecah lamunanku.
"Iya bu, saya temen kampusnya. Ibu kenal dengan Klara?"
"Ya kenal atuh neng, saya mah kan tetangganya." Jawab sosok itu
cetus
"Kalau saya boleh tau ini kenapa ya bu, kok kosannya Klara disegel
gini?" Tanyaku to the point dengan penuh rasa penasaran, berharap wanita
itu mengetahui sesuatu.
"Semalem, kosan temenmu ini digebrek polisi. Ketahuan ada pesta
narkoba, dan kabarnya si Klara itu pengedar yang udah diburon polisi
berbulan-bulan neng."
"Tadi malam? Jam berapa bu?" Sontak aku kaget, sementara semalam
saja aku ada di sini.
"Jam 2an lah neng kira-kira."
Tepat, setengah jam setelah aku pulang.
"Ohh iya makasih ya bu, informasinya."
"Iya sama-sama. Jangan kaget ya neng, hati-hati aja lain kali kalo
nyari temen. Kalo bisa ya temenan sama orang yang lurus-lurus ajalah."
Tukasnya ringan
Aku hanya terdiam dan membalasnya dengan senyum ketir, rasanya tak mampu
berkata apapun.Aku berbalik arah dan kembali menuju kosanku, meninggalkan
tempat yang kupijaki saat ini dengan perasaan tak karuan.Di sepanjang jalan tak
henti-hentinya bulir air dari pelipis mataku berjatuhan. Aku mengingat
satu-persatu hal yang sejauh ini telah kulewatkan. Sekarang Klara harus
mendekam di penjara. Tak ada lagi yang menemaniku di sini. Hingga yang
terlambat kusesali, aku bahkan telah memutuskan hubunganku dengan Putra
sekaligus mengabaikan persoalan orangtuaku di Jakarta.
Sebelum sampai di kosanku, langit Kota Bandung menurunkan hujannya hingga
tubuhku menggigil kedinginan. Aku kembali menangis saat melihat tubuhku begitu
terbuka, bajuku begitu tipis, dan kepalaku kehilangan kerudungnya. Derasnya
hujan sore ini benar-benar mengguyurku dengan dosa-dosa yang berjatuhan.
Satu bulan kemudian,
Aku mendapat notifikasi dari direct message di instagramku. Aku tak
memikirkan itu dari siapa, langsung saja kubuka pesannya.
Putra.
Aku menghela napasku dalam-dalam, memastikan sekali lagi username yang
muncul di layar handphoneku. Ah, ternyata itu benar Putra.
"Naura, ini kamu? Kamu sudah berhijab lagi Ra? Aku senang sekali
melihat snapgrammu yang ini Nauraaa."
Aku tersenyum membaca dm dari Putra.
"Iya, Ta. Doain aku ya Ta, aku ingin istiqomah sekali lagi. Aku tak
ingin mengecewakan Allah lagi."
"Iya, Ra. Aku pasti doain kamu. Ohiya, bulan depan IMM ada seminar
tentang hijrah nih. Sini pulang ke Jakarta, aku udah daftarin kamu ke
seminarnya." Balasnya cepat.
"Ohiyaa? Siaaaap. In sya Allah bulan depan aku hadir di seminarnya
IMM. Tunggu aku pulang ya Ta."
***
Aku tak
pernah berpikir sejauh ini. Bahwa
menjadi baik bukan sebab
semata keinginan namun ini adalah
jalan atas kewajiban
untuk menyempurnakan kehidupan.
Aku ingat, Allah selalu bersama prangka hamba-Nya.
Maka sudah seharusnya aku menjadi
hamba yang senantiasa rindu
akan cinta-Nya.
MasyaAllah. .
BalasHapusLuar biasa. .
Setelah sekian lama. .
Air mata ini menetes kembali. .
Terimakasih cerita yang sangat menginspirasi. .
Terus berkarya. .
Di tunggu cerita berikutnya. . 😊