Sabtu, 15 September 2018

Save Me | Cerpen IMM


“Save  Me”
By : Zury M


Immawan..
dan Immawati…
Siswa teladan, putra harapan
Penyambung hidup generasi

...

Aku memutar nyanyian itu sekali lagi. Tidak, tidak seutuhnya. Aku hanya selalu terhenti pada bait yang ini saja;

Immawan..
dan
Immawati…
Siswa teladan, putra harapan
Penyambung hidup generasi ....

Lagi, aku mengulangnya. Mendengar lirik yang sama, memaknai pesan yang juga sama. Tetapi, kali ini dengan debar yang berbeda.

Ada gelisah dan sepasang resah yang memainkan tarian air mata hingga membentuk sungai kecil di wajah pucatku yang basah. Serta ada pula rindu yang seketika memaki ingatanku, dengan teramat marah.

****

(Satu tahun yang lalu)

Aku selalu suka berdiri di depan dinding kaca Uhamka lantai 5, sambil menyaksikan pola tak teratur dari bangunan rumah-rumah Jakarta serta menerka tingginya gedung-gedung yang memperlihatkan keangkuhannya.

Kala itu langit Kebayoran tak seramah biasanya. Awannya sendu, anginnya pun lesu. Semesta seperti ikut berkabung atas pilihanku memakamkan kenangan 4 semester di kampus ini.

Hingga sebuah teriakan yang kutahu berasal dari koridor FISIP terdengar sangat nyaring dan membuyarkan segala heningku.

"NAURAAAAAA."

"Apaaa, Bellaaa? Kurang kenceng lo treaknya." Timpalku setelah gadis itu memanggilku dengan teriakan sadis.

"Lo ikut SBMPTN lagi ya Raa? Ko ngga bilang-bilang gue sih."

"Iya Bel, alhamdulillah ketrima di Bandung." Jelasku singkat

"Nauraaaaa, sukses di sana!!" Seru perempuan shalihah tersebut seraya memelukku. Lagi-lagi air mataku membulatkan bekasnya di hijab Bella,  sahabat hijrah terbaik yang pasti akan sangat kurindukan nanti.

***

"Ra, kamu beneran udah yakin sama keputusanmu?" Lelaki itu menatapku penuh tanya.

"Udah kok, aku udah yakin banget Ta." Tegasku.

"Tapi kamu ngga punya keluarga loh di sana. Nanti kalo kenapa-kenapa gimana ngga ada yang urus? Kamu kan sering sakit, Ra."

Aku mengerti lelaki ini memang sangat mencemaskanku.

"Udahlah Ta, kamu harus percaya kalau Allah selalu jagain aku, dimanapun aku nanti." 

"Hm, iya Ra. Aku percaya, Allah pasti selalu jagain kamu." 

"Tapi kamu juga harus tetep jagain aku ya Ta, di ujung sajadahmu aja cukup." Ucapku setengah memohon.

"Iya, Naura." Putra mengakhiri keraguannya dengan sebentuk senyum kecil yang melengkung manis.

***

Uhamka adalah kampus yang mempertemukanku dengan seorang pria bernama Putra, serta organisasinya (IMM). Organisasi yang memberiku napas untuk merasakan ruang hidup kembali, memberiku kesempatan mengenal orang-orang hebat yang kaya inspirasi.

IMM adalah catatan kisah tentang bagaimana sebuah pergerakan islam mampu mencerahkan pikiran hingga melukiskan semangat perubahan, untukku.

***

Rasanya lidahku sedikit kelu saat pura-pura menyakinkan Putra bahwa rencana kepindahan ini akan membuat semuanya tetap baik-baik saja. Padahal bagaimana bisa sebuah kepergian tidak menyedihkan. Apapun bentuknya, kehilangan tetaplah menyakitkan.

Tetapi bertahan di Jakarta dengan setiap harinya harus menonton kehancuran keluarga juga semakin membuatku jera. Muak, dengan perangai buruk orangtua yang tak reda-reda. Terlebih mereka tak pernah mau berbaik hati dengan perubahanku yang sekarang. 

Ibu selalu menatap sinis saat menemuiku pulang kuliah mengenakan gamis. Bapak, selalu terganggu telinganya saat mendengar lantunan ayat suci al-qur'an ku dengungkan setiap malam. 

Syukurnya Allah menghadiahkanku seorang sahabat seperti Putra, yang selalu menguatkan langkahku dalam takwa. 

Terimakasih luka, terimakasih cinta. Sungguh, kalian menjadikanku dewasa.

***

Garis waktu melaju cepat, tak terasa Bandung telah menjadi rumah baruku di bulan ke empat. 

Tak banyak kegiatan yang kulakukan di sini. Berbeda saat di Uhamka yang selalu disibukkan dengan berbagai rapat dan kajian IMM, di sini aku memilih menjadi kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang) yang memberiku banyak waktu luang. 

Di satu sisi aku senang, sebab Bandung jauh membuatku lebih tenang. Tak ada lagi drama keluarga yang membuatku stress setiap hari. Tak ada lagi bising suara pecahan perabot seperti yang dilakukan oleh Bapak dulu, juga lontaran amarah yang sering Ibu tumpahkan padaku.

Tapi di sisi lain ...

***

"Kla, jadi mau ngerjain tugasnya dimana nih?" Aku mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Klara, satu-satunya teman baru yang dekat denganku di sini.Aku tak langsung menutup handphoneku, sengaja kuscroll daftar pesan masuk. Aku tak menemukan pesan dari Ibu atau Bapak di sana. Bahkan sebuah misscall pun, tidak. Mereka belum merindukanku rupanya.

Ah, dengan cepat aku menepis prasangka-prasangka buruk itu. Kali ini aku tak ingin menangis, aku tak ingin menyalahkan ketidakpedulian mereka terhadapku, mungkin Ibu dan Bapakku memang sesibuk itu.

Aku kembali meletakkan handphone ini di atas meja belajar dan ingin segera menemui sholat ashar.Namun sebelum sempat aku memutar balikkan badanku, tiba-tiba ada notifikasi yang muncul dari layar sana.

A message from Putra:

Assalamualaikum, Ra. Apa kabar? Maag kamu belum kambuh kan di sana? Sehat-sehat ya, Ra. Maaf jarang mengabarimu, akhir-akhir ini IMM sedang banyak sekali kegiatan. Ohiya Ra, sekarang aku dipilih menjadi ketua umum di organisasi ini. Doakan aku ya Ra, agar aku bisa amanah dengan tanggungjawab ini. Doa terbaikku juga selalu mengaminkan namamu.

Aku tak membalas pesan itu, kuraih mukenaku dan langsung memilih untuk berdiri tegak menjemput sajadah yang sudah berteriak bisu.

Aku tak mengira akan tetap menjatuhkan air mata ketika usai salam kedua. Perasaan-perasaan yang entah namanya itu tumpah dalam sekuntum doa di sore ini. Dadaku sesak sekali saat menyadari orang-orang yang kucintai mulai larut dengan dunianya sendiri. 

Aku sangat terbiasa diabaikan oleh orangtua, tapi perih rasanya ketika sahabat yang sebenarnya kucintai itu juga pelan-pelan mulai jauh dari keseharianku, mulai pudar perhatiannya padaku. Ah, lemah. Padahal aku yang memilih pergi, tapi mengapa aku seolah selalu terjebak pada memori dengan pria itu kembali.

Handphoneku kembali berdering, sejenak menghentikan segala belenggu kesepian yang memenjaraku sekarang.

A message from Klara

Ra, nugasnya ntar malem aja atuh ya. Di kosan Klara aja ngerjainnya, abis isya.

Oke. Ketikku singkat membalas pesan Klara.

***

Satu minggu setelah mengerjakan tugas di kosan Klara, aku makin lengket dengannya, seperti sepasang adik-kakak yang kompak. Semakin sering, aku menghabiskan waktu bersama perempuan asli sunda yang berwajah putih bersih dengan postur tubuh ideal itu. Hingga tanpa kusadari Klara berhasil membuatku lupa dengan segala luka dan cinta di langit Jakarta.

Namun, seperti ada yang hilang dariku. Kedekatanku dengan Klara tak ayal justru menjauhkanku, dari Allah.

"Ntar malem ke kosan gue ya, Ra. Tapi gausah pake kerudunglah sekali-kali, gapapa. Anak-anak sekalian pada mau party." Cetus Klara enteng sambil menyesap batang rokoknya yang ketiga.

Aku terdiam.
Aku berkelahi dengan diriku.
Bagaimana bisa aku bersahabat dengan gadis ini? Ya, memang awalnya aku mendekatinya karena miris melihat pergaulan Klara yang teramat rusak. Ingin sekali rasanya aku menjadi lentera dakwah untuknya. Dia satu-satunya temanku di sini, tak mungkin aku menjauhinya. Aku harus merangkulnya.

"Duh ntar malem gue mau istirahat aja, Kla. Lagi nggaenak badan nih." Jawabku sambil mengurut-urut kepala yang padahal tidak sakit.

"Halah, klasik." Cetusnya

"Yaudahlah Ra. Lo emang ngga bener-bener pengen jadi temen gue. Lo boong sama gue, katanya lo selalu mau nurutin kemauan gue karena lo tau rasanya diancurin sama keluarga. Lo sama aja kaya mereka, kuno!"

Belum sempat aku mengeluarkan kalimat dari mulutku, Klara sudah enyah dari hadapanku. Dengan cepat ia menyeret langkahnya menjauh dari garis edarku.

Bukan, aku bukan sedih ditinggalkan Klara. Aku sedih tak mampu menjadi penopang kerapuhannya. Tak seharusnya perempuan yang suka menolong dan hobi bersedekah walau enggan sholat itu semakin rusak. Aku gagal, menjadi temannya.

Tak lama, suara adzan menggema dari arah utara tempatku berada. Aku tunduk sejenak, sambil merapalkan tangan lalu memohon agar Allah menjaga keistiqomahanku.

***

Malam ini aku sangat cemas, entah apa yang kucemaskan aku tak mengerti. Mungkin tentang Ibu, Bapak, Putra, atau bahkan .. Aku sedang mencemaskan Klara. 

Lalu saat segala kecemasan ini menari-nari dengan lincahnya di kepalaku, handphone ku berdering dan memperlihatkan sebuah panggilan dari kontak yang kusimpan; ibu.

"Nauraa ini ibu nak. Bapak kamu, hari nikah lagi..."

"Hah?" 

5 bulan aku tak mendengar kabar apapun perihal orangtuaku. Ku kira hubungan mereka mulai membaik, ternyata itu hanyalah angan kosong yang nyatanya berbanding terbalik.

Aku kacau. Aku kacau mendengar tangis ibuku yang meraung-raung di ujung telfonnya.

***

"Nauraaa, dateng juga lo akhirnya kesini." 

Klara menyambut kedatanganku hangat, bahkan aku dipeluk dengan sangat erat. 

Lagi-lagi, Klara membuatku tidak merasa sendirian. Perempuan itu adalah hiburan yang tepat saat keluargaku benar-benar hancur seperti sekarang.

Tapi, ada yang berbeda saat ia memelukku. Klara tak mengusap hijabku, ia langsung bisa menyentuh rambutku.Aku pun tak membulatkan bekas air mata di hijabnya, seperti yang dulu selalu terjadi saat aku memeluk Bella. 

Aku dan Klara sekarang adalah dua perempuan yang sama-sama; rapuh.


Esoknya, aku mendapati sebuah  pesan dari  Putra,

Assalamualaikum, Ra. Tadi malam aku melihat snapgrammu bersama teman-temanmu. Aku tidak mengenal mereka siapa dan tak tahu bagaimana kamu bisa mengenalnya. Ra, tapi sedihnya aku juga tak mengenalmu di sana. Kemana hijabmu, Naura?

Mataku panas, hingga perlahan airnya mengalir deras. 

"Aku bahkan tak mengenal lagi diriku sendiri. Aku buta arah untuk kembali. Bantu aku, Ta. Bantu aku."

Kali ini aku tak bisa tidak membalas pesan  Putra. Aku tahu hanya Putra  yang  bisa  membuatku  menjadi  lebih  baik.

"Naura, aku bukan alasan untukmu kembali menjadi baik. Aku juga tidak bisa membantumu. Tanya dirimu sekali lagi, untuk siapa hidupmu selama ini? Untuk siapa hidupmu esok hari? Kembalilah, karena-Nya. Dan jangan terlambat, Naura."

"Aku memang seharusnya tidak meminta bantuanmu, Ta. Aku lupa kalau kamu sudah terlalu sibuk dengan duniamu yang sekarang. Aku tidak lebih penting kan dari urusan-urusan organisasimu itu? Bye, Ta. Kamu tidak perlu menghubungi aku lagi."

Aku mematikan handphoneku, mencabut kartu simnya lalu melemparnya sejauh mungkin yang ku bisa, aku tak membutuhkan siapapun di sana. Ku kira tak ada yang bisa membuatku lebih tenang, selain Klara. Ya, aku harus segera menemuinya.

Ku seka air mataku sambil menatap lekat-lekat wajahku di cermin yang bisu. Perlahan aku menyisir rambutku yang panjang, ku biarkan ia tergerai dan menyentuh udara di sekelilingnya. Sedikit make up mulai ku usap, dress yang dibelikan Klara beberapa hari yang lalu juga sangat pas kukenakan. Aku yakin Klara akan senang hangout dengan penampilanku yang sekarang.

Beberapa menit kemudian aku tiba di gang kosan Klara, aku tahu dia sudah menungguku untuk pergi hari ini.

Langkahku semakin dekat dengan kosannya, hingga kini aku berada tepat di depan pintu rumah kontrakan bercat putih yang telah kusam itu. Namun, ada sesuatu yang mengganggu penglihatanku. Ada sesuatu, yang membuatku menelan ludah dan terpaku sejenak.

Persis di hadapanku, kosan milik Klara saat ini dipagari garis polisi yang khas dengan warna kuningnya yang kontras.

Tak lama aku tenggelam dalam ketegunanku, seorang ibu paruh baya yang mengenakan daster bunga-bunga sudah berdiri di sebelahku setelah tanpa kusadari ia telah lebih dulu menepuk pundakku.

"Neng temennya si Klara ya?" Ia memulai kalimatnya dengan nada yang sedikit tinggi dan memecah lamunanku.

"Iya bu, saya temen kampusnya. Ibu kenal dengan Klara?"

"Ya kenal atuh neng, saya mah kan tetangganya." Jawab sosok itu cetus

"Kalau saya boleh tau ini kenapa ya bu, kok kosannya Klara disegel gini?" Tanyaku to the point dengan penuh rasa penasaran, berharap wanita itu mengetahui sesuatu.

"Semalem, kosan temenmu ini digebrek polisi. Ketahuan ada pesta narkoba, dan kabarnya si Klara itu pengedar yang udah diburon polisi berbulan-bulan neng." 

"Tadi malam? Jam berapa bu?" Sontak aku kaget, sementara semalam saja aku ada di sini.

"Jam 2an lah neng kira-kira."

Tepat, setengah jam setelah aku pulang.

"Ohh iya makasih ya bu, informasinya."

"Iya sama-sama. Jangan kaget ya neng, hati-hati aja lain kali kalo nyari temen. Kalo bisa ya temenan sama orang yang lurus-lurus ajalah." Tukasnya ringan

Aku hanya terdiam dan membalasnya dengan senyum ketir, rasanya tak mampu berkata apapun.Aku berbalik arah dan kembali menuju kosanku, meninggalkan tempat yang kupijaki saat ini dengan perasaan tak karuan.Di sepanjang jalan tak henti-hentinya bulir air dari pelipis mataku berjatuhan. Aku mengingat satu-persatu hal yang sejauh ini telah kulewatkan. Sekarang Klara harus mendekam di penjara. Tak ada lagi yang menemaniku di sini. Hingga yang terlambat kusesali, aku bahkan telah memutuskan hubunganku dengan Putra sekaligus mengabaikan persoalan orangtuaku di Jakarta. 

Sebelum sampai di kosanku, langit Kota Bandung menurunkan hujannya hingga tubuhku menggigil kedinginan. Aku kembali menangis saat melihat tubuhku begitu terbuka, bajuku begitu tipis, dan kepalaku kehilangan kerudungnya. Derasnya hujan sore ini benar-benar mengguyurku dengan dosa-dosa yang berjatuhan.

Satu bulan kemudian,

Aku mendapat notifikasi dari direct message di instagramku. Aku tak memikirkan itu dari siapa, langsung saja kubuka pesannya.

Putra.

Aku menghela napasku dalam-dalam, memastikan sekali lagi username yang muncul di layar handphoneku. Ah, ternyata itu benar Putra. 

"Naura, ini kamu? Kamu sudah berhijab lagi Ra? Aku senang sekali melihat snapgrammu yang ini Nauraaa."

Aku tersenyum membaca dm dari Putra.

"Iya, Ta. Doain aku ya Ta, aku ingin istiqomah sekali lagi. Aku tak ingin mengecewakan Allah lagi." 

"Iya, Ra. Aku pasti doain kamu. Ohiya, bulan depan IMM ada seminar tentang hijrah nih. Sini pulang ke Jakarta, aku udah daftarin kamu ke seminarnya." Balasnya cepat.

"Ohiyaa? Siaaaap. In sya Allah bulan depan aku hadir di seminarnya IMM. Tunggu aku pulang ya Ta."

***
Aku  tak  pernah  berpikir sejauh ini.  Bahwa  menjadi baik  bukan  sebab  semata keinginan namun ini adalah  jalan  atas  kewajiban  untuk menyempurnakan  kehidupan. Aku ingat,  Allah selalu  bersama prangka  hamba-Nya.  Maka  sudah  seharusnya aku  menjadi  hamba yang  senantiasa  rindu  akan  cinta-Nya.

END

1 komentar:

  1. MasyaAllah. .
    Luar biasa. .
    Setelah sekian lama. .
    Air mata ini menetes kembali. .
    Terimakasih cerita yang sangat menginspirasi. .
    Terus berkarya. .
    Di tunggu cerita berikutnya. . 😊

    BalasHapus