Rabu, 13 September 2017

RUANG IKATAN (Edisi 1, Vol 1)

Politik Asik
Oleh: Anonim
(Kader IMM)

Pada hari ini mungkin kita masih resah akan politik, kata yang membuat seseorang enggan untuk masuk bahkan mengetahuinya. Kaum sekuler pun menyingkirkan hal politik dengan agama karena menurut mereka akan rumit suatu persoalan. Kali ini seorang yang mengesankan membuat politik itu menjadi menyenangkan, bagaimana itu bisa terjadi? Baca tulisan ini sampai habis.
            Orang yang benci politik bisa dipastikan hidupnya hanya mengekor dalam arti tidak tahu apapun, karena politik itu keterkaitan dengan hukum, ekonomi, bahkan sosial. Harga bahan pokok naik dan BBM naik dikarenakan politik. Ada yang mengatakan politik itu kejam, tidak apa-apa karena orang bebas berpendapat. Yang ditakutkan adalah ketika orang itu anti politik dan dimanfaatkan oleh sebagian pihak itu berbuat kezaliman. Seorang mahasiswa yang hanya berdiam diri ketika dosen tidak masuk dan yang mengagetkan hadir ketika ujian, bodohnya segolongan mahasiswa hanya diam lalu mengikuti padahal mereka bisa protes tetapi anggapan mereka yang terpenting santai dan nilai bagus. Pandangan mahasiswa itu sudah pragmatis tidak ada jiwa kritis, apalagi berpikir politik. Sebenarnya ketika kita kecil politik sudah ada pada diri masing-masing yaitu, meminta uang jajan kepada orang tua kita jika tidak diberi nangislah sang bocah.
Beberapa elemen mahasiswa pun sekarang seperti dikebiri oleh anggaran kampus yang menyebabkan ketakutan pada pimpinan. Pada pola disini membuat nilai kritis pada lembaga mahasiswa mandul. Era sekarang menurut sebagian mahasiswa sudah turun kejalan pandangan mereka sudah kritis, tetapi lahirnya kritis bukan pada pribadi masing-masing. Ketika kampusnya sendiri zalim mereka bingung harus seperti apa. Kritis itu tidak lahir ketika kajian yang sudah matang dan hasilnya harus turun kejalan seperti aksi 212, 112, dll. Karena hal itu sudah ada yang mengkaji sehingga harus mengkritisi pemerintah, lalu tinggal pengekor yang datang dari kesadaran diri atau tidak. Lantas yang mengkaji setiap kebijakan kampus siapa? Inilah peran dan fungsi mahasiswa jangan belaga ingin tenar tapi rumah sendiri morat-marit.
Politik ini sederhana dari kalian berorganisasi hingga kalian berkomunikasi satu dengan yang lain. Amati situasi kemana arah kebijakan setiap lembaga dan setiap orang nantinya akan terasah. Lalu jadilah pengambil keputusan setidaknya jadilah sang pemberi gagasan agar pikiran kalian tersampaikan dan dipakai. Sangat sederhana menanyakan bagaimana alur birokrasi, bagaimana alur keuangan mahasiswa, untuk apa saja yang dipakai.Ya, hanya menanyakan dahulu, nanti, pula timbul keganjilan dan kegelisahan disitulah politik kalian, dimana posisi dan penempatan kalian. Jangan malah lembaga mahasiswa takut ketika keuangannya dicampurtangani dan diam ketika diancam.
Jika mahasiswa diancam maka buat gelombang pergolakkan dengan cara pamflet propaganda. Nantinya isu-isu itu akan terbangun dan terpenting massa haruslah massif. Dan janganlah ketika kalian berlaku tidak adil pada masyarakat karena akan merugikan diri kalian. Politik itu bisa merugikan dan pula menguntungkan dimana penempatan posisinya disitu terlihat keberimbangannya. Adolf Hitler pernah mengemukakan gagasannnya bahwa kebohongan yang diulang-ulang akan jadi kebenaran. Maka dari itu ketika mencium ketidakadilan dan ketidakjelasan disitulah kebenaran harus ambil peran.
Media-ku; Solusi atau Stagnasi
Oleh: Bayujati Prakoso
(Anggota Bidang Hikmah PK IMM FISIP UHAMKA Jakarta Selatan Periode 2016-2017)
            Dalam Ilmu Komunikasi, mendengarkan adalah mekanisme perolehan umpan balik (feedback) yang berguna bagi komunikator untuk mengetahui apakah komunikasi nya berjalan dengan baik, sesuai dengan harapan khalayak. Dengan konsep tersebut, menurut penulis itu dapat menjadi bahan referensi untuk pelaku politik dalam hal ini masyarakat nya serta tim-tim sukses, sampai kandidat politik sekalipun dalam menyelenggarakan suatu praktik politik agar menjadi efektif dan demokratis. Jika dari komunikasi tim sukses politik, kandidat ke masyarakat dapat efektif, maka selanjut nya pula juga akan menjadi efektif dan yang pada akhirnya menjadi dinamis dan berjalan semestinya.
            Menurut Prof. Miriam Budiardjo, untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu menyelenggarakn beberapa lembaga seperti  adanya Dewan Perwakilan Rakyat yang mengontrol, pemerintahan yang bertanggung jawab, sistem peradilan yang bebas, pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat. Maka, ranah dalam hal ini praktik politik menggunakan pers/media massa dalam ajang bersaing secara sehat, mempromosikan kandidat politik nya, sebagai hubungan kerja sama, menjalin sistem komunikasi yang baik dengan di kemas dalam bentuk iklan di media elektronik, cetak dan internet maupun media massa lainnya.
            Katrin Voltmer dalam bukunya yang berjudul Mass Media and Political Communication in New Democracies, ia menyatakan dalam kehidupan berpolitik, media bukan hanya menyampaikan pesan politik tapi juga aktif berpartisipasi dalam membuat pesan politik (Cook, 1998).[1] Oleh karena itu, media menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam strategi partai politik. media mampu mempolitisi dan memobilisasi masyarakat sehingga dapat memberikan jalan bagi tujuan partai. Menggunakan strategi media logic yaitu strategi yang digunakan untuk mempertahankan hubungannya dengan publik.
            Media juga diharapkan dapat menjadi ‘marketplace of ideas’ atau pasar gagasan yaitu sebuah forum untuk kelompok atau individu dalam mengekpresikan pandangannya, bertukar pendapat tanpa adanya intervensi dari negara. Namun gagasan ini cenderung mengaburkan kebenaran, seakan berkompetisi dalam memberikan argumen terbaiknya dan menghilangkan kebenaran yang sesungguhnya.
            Indikator dari adanya sebuah demokratisasi yaitu adanya pemilihan umum, padahal pemilu dapat berlangsung dibawah rezim yang mempertahankan otoritasnya. Posisi media dalam hal ini dapat memberikan pengaruh besar kepada publik seperti halnya teori jarum suntik, seperti yang dikatakan oleh Hence bahwa kualitas pengambilan keputusan secara demokratis berhubungan erat dengan kualitas informasi yang diberikan oleh media.[2] Namun publik pada dasarnya dapat menentukan sikapnya sendiri tanpa adanya dorongan dari media massa. Oleh karena itu, publik harus memiliki kemampuan untuk dapat memilih dan menyeleksi informasi. 
            Media menjadi sebuah instrumen penting dalam penyelenggaraan praktik politik di Indonesia. Mengingat berbagai persoalan yang muncul mengemuka dengan berbagai ekspresi. Sebab media menjadi aktif dan sehat manakala sistem yang didalamnya, termasuk mitra dan pengguna mampu berkolaborasi dengan baik pula. Mau memberikan solusi untuk perkembangan media kedepan atau stagnasi?.
            Atas dasar itu, perlu nya perilaku yang demokratis tidak hanya serta merta pelaku politik yang terkait di dalam penyelenggaraan politik saja dalam hal ini menunjuk pada anggota/tim media. Semua harus saling mengerti dan memahami agar tercipta nya hubungan yang dinamis, harmonis dan demokratis. Menciptakan sebuah strategi periklanan dalam menyiarkan sebuah strategi politik yang mana pada akhirnya menciptakan sebuah komunikasi yang efektif dari anggota kelompok partai politik sampai kandidat kepada tim media serta masyarakat, dapat memahami kode etik dalam penyiaran, dan sebagai nya serta cenderung dapat merubah pemikiran publik terhadap media yang di publikasikan. Sehingga, mampu meminimalisir stagnasi tugas, pokok, fungsi media yang sejatinya, pun demikian terwujudnya media yang sehat, baik dalam hal penyelenggaraan praktik politik yang demokratis di Indonesia.

Kepustakaan
Budiardjo, Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Ed. Revisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
[1] Voltmer, Katrin. 2006. Mass Media and Political Communication in New Democracy. ECPR Studies in European Political Science. London and New York: Routledge Taylor & Francis Group. Hlm. 7
[2] Ibid, hlm. 3



[1]Voltmer, Katrin. 2006. Mass Media and Political Communication in New Democracy. ECPR Studies in European Political Science. London and New York: Routledge Taylor & Francis Group. Hlm. 7
[2]Ibid, hlm. 3