Spirit Momentum Hari Pahlawan: Mengembalikan Otentisitas Gerakan Mahasiswa dalam Bingkai Muhammadiyah
Oleh: Bayujati Prakoso*
Ketika berbicara mengenai hari pahlawan, sudah bukan lagi berbicara kapan momentum itu terjadi dinegeri ini. Lebih jauh, sudah sejauh manakah agenda ke-Agama-an dan ke-Indonesia-an disiapkan kedepan? Apakah pada hari ini, bangsa ini, sudah sesuai dengan tujuan dan harapan perjuangan para pahlawan atau tidak? Bagaimana negeri ini bisa terus berdiri jika generasi bangsanya tidak mau ikut serta dalam membangun negeri yang makmur dan berkemajuan? Indonesia akan maju jika generasi penerusnya mampu gotong royong bersama membangun peradaban bangsanya dengan progresif. Progresifitas yang dihadirkan menjadi sebuah titik poin dalam pembangunan yang berskala panjang dan luas. Ini menjadi indikator dalam membangun negeri. Ir. Soekarno pernah berkata bahwa, “Negara yang besar, adalah negara yang tidak lupa dengan jasa para pahlawannya”. Ini menjadi sebuah renungan kita bahwa negara tidak bisa digerakan oleh kaum elit saja, melainkan generasi penerus bangsa mempunyai andil yang besar dalam mempengaruhi kebijakan dan stabilitas negara, termasuk dalam membangun peradaban bangsa.
Lika-liku perkembangan zaman mengantarkan individu dengan segala aktivitasnya menjadi lupa bahwa ia seorang anak bangsa, yang secara epistemologi adalah dari mana ia tinggal, dan dari hasil ciripayah atau kontribusi siapa ia dapat menikmati kehidupan kini dalam beragama, berbangsa dan bernegara dengan aman, damai, serta tentram. Semua itu tidak terlepas dari yang namanya jasa para pahlawan. Pahlawan yang sudah rela berkorban memberikan segalanya demi kepentingan ummat, bangsa dan negara nya. Spirit momentum hari Pahlawan pada 10 November 1945, yang diperingati setiap tahunnya menjadi sebuah keharusan bagi kita sebagai warga negara Indonesia. Peristiwa tersebut menghadirkan konflik bersenjata berskala besar antara Indonesia dengan pasukan asing pada saat itu. Peringatan Hari Pahlawan ini bukan lagi diperingati dengan perayaan saja, melainkan sejatinya menjadi upaya refleksi, hingga pada tataran interpretasi-diskusi-teoretis-implementasi dari keteladanan para pahlawan sebagai sosok figur bangsa dan mewujudkannya semangat nasionalisme dengan berbagai upaya yang mendorong terwujudnya tujuan bangsa dan negara yang sudah dibuat oleh para founding fathers.
Kendati demikian, diperlukan pembelajaran dari kisah-kisah perjuangan dan meneladani sikap yang positif dari para pahlawan. Renungkan secara mendalam, dalam spirit momentum Hari Pahlawan, 10 November, penulis berupaya melihat dengan sudut pandang yang berbeda, namun masih memiliki garis lurus terhadap momentum bersejarah ini, yakni dengan upaya mengembalikan otentisitas gerakan mahasiswa dalam bingkai Muhammadiyah sebagai respon akan zaman yang semakin berkembang, dan dengan menterjemahkan nilai-nilai Islami dan nasionalisme yang murni sebagai wujud melahirkan peradaban yang mencerahkan dan berkemajuan.
Kesadaran yang dihadirkan oleh generasi bangsa kepada pahlawan masih terbilang minim. Minim akan pengetahuan sejarah, bahkan pada biografi tokoh pahlawan atau orang yang berjasa dan berpengaruh dalam membangun peradaban bangsa ini. Ini yang menjadi ketakutan bersama, negara bisa tertindas oleh bangsa asing jika kita lemah terhadap negara sendiri. Dari hal-hal mengetahui dan memahami sejarah dan sebagainya yang diuraikan diatas menjadi sebuah bumerang kepada generasi bangsa. Terlebih, boleh jadi generasi bangsa yang labelnya akademisi, muda, kuat dan berwibawa ini hanya sekedar panggilan saja. Selain itu, pemikiran yang terjerumus pada perkembangan ideologi, politik praktis yang tidak sejalan dengan falsafah Pancasila. Yang kemudian, sejumlah aktivis yang sebagai penerus bangsa ini, sedikit demi sedikit akan hilang dan terjebak dalam pemahaman tersebut. Inilah yang menjadi sebuah catatan dan pekerjaan rumah baik individu-kolektif.
Tidak menafikkan semua generasi bangsa, namun sebagian generasi bangsa kini, cenderung sekedar menumbuhkan “eksistensi” belaka dengan segala romantika yang cenderung pragmatis bahkan hedonis. Kemampuan retorika yang mumpuni dengan dinamika dialektis yang rapi dan indah, pun adanya kehadiran polemik-diskursus dengan berbagai persoalan. Menjadikan mereka tak sekedar menampilkan dirinya sebagai seorang aktivis tapi kemurnian yang dilandasi dengan prinsip Al Qur’an dan Sunnah yang diimplementasikan dengan gerakan mahasiswa tentu menjadi sebuah formulasi yang diharapkan oleh seluruh elemen masyarakat. Dengan begitu, gerakan mahasiswa kembali kepada khittah nya. Dengan kata lain, otentisitas gerakan dengan membumikan spirit gerakan itu perlu dipahami. Berangkat dari hal tersebut, pergerakan dengan kesadaran kolektif mahasiswa yang utuh dan murni sebagai generasi bangsa tentu menjadi sebuah langkah yang baik dalam membangun harmonisasi yang positif. Keberangkatan kemurnian dengan landasan kompetensi spiritualitas/religiusitas, kompetensi intelektualitas, dan kompetensi humanitas seperti pada Tri Kompetensi Dasar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) perlu dimiliki oleh setiap generasi/kader bangsa. Itu yang menjadi sebuah upaya mengembalikan otentisitas gerakan mahasiswa dalam momentum hari pahlawan ini sebagai wujud nasionalisme dan tanggungjawab moril, sosial, dan hidup beragama, berbangsa dan bernegara.
Berbicara otentisitas gerakan, maka kita akan berbicara bagaimana merekonstruksi pemahaman dan pemikiran dalam gerakan kolektif. Gerakan kolektif yang disebut gerakan dari sejumlah aktivis generasi bangsa yaitu mahasiswa salahsatunya yang menjadi sorotan dalam dinamika kebangsaan. Dan kini suatu keharusan yang gerakannya sebagai mahasiwa haruslah berlandaskan murni (autentik) dan tidak tercampur dengan kekuasaan bahkan paksaan suatu hal. Apalagi dengan spirit mahasiswa, menjadi pemikiran bersama bagaimana menciptakan peradaban yang unggul dan berkemajuan, apalagi ditengah adanya era distrupsi inovasi (Distruption Innovation Era). Tentunya, sebagai perwakilan dari generasi bangsa, yaitu mahasiswa, umumnya masyarakat luas, sudah sewajarnya menjalankan misi dakwah sebagai kontribusi nyata untuk Indonesia berkemajuan.
Sebagaimana diketahui bersama, K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah yang merupakan entitas orisinal yang telah memberi kontribusi terhadap peradaban. Peradaban yang mencerahkan inilah yang dijalani oleh Kiai semenjak ia remaja-ajal menjemput. K.H. Ahmad Dahlan menyumbang berbagai gagasan dan pemikirannya untuk negeri ini. Seperti pada gerakan pemurnian (purifikasi) terhadap proses pembentukan masyarakat dan struktur sosial. Yang pada saat itu masih banyak nilai-nilai dan pemikiran tradisionalis, seperti berfikir keakhiratan, namun melupakan dunia, tidak mementingkan pendidikan, dan sebagainya yang dijalani oleh masyarakat pada masa itu. Itulah yang diharapkan K.H. Ahmad Dahlan yang sudah sepatutnya kita mampu meneladani, dan bergerak dengan membangun spirit Pancasila dan kebangsaan, dengan merawat kebhinekaan dalam mewujudkan masyarakat yang generasi yang mencerahkan peradaban. Maka, bersamaan dengan tujuan didirikannya Muhammadiyah untuk mewujudkan perilaku individu dan kolektif agar menjadi teladan yang baik (uswatun hasanah) menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Lebih lanjut, Abd Rohim Ghazali, dkk dalam bukunya Muhammadiyah “Ahmad Dahlan”; Menemukan Kembali Otentisitas Gerakan Muhammadiyah (2015) menjelaskan, tatanan masyarakat yang dimaksud dapat ditafsirkan sebagai citra masyarakat utama, yaitu masyarakat yang unggul diberbagai bidang, utamanya akhlak dan juga dari sudut sosial, ekonomi, dan bahkan politik.
Tidak lupa, aktualisasi nilai-nilai spiritualitas yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah harus tetap dipegang teguh keutuhan dan kemurnian ajaran Islam sendiri oleh setiap generasi bangsa, termasuk seorang mahasiswa. Mahasiswa yang memiliki spirit perjuangan dalam membangun peradaban sudah sepantasnya menjadi generais selanjutnya yang bisa dikatakan sebagai “penggerak perubahan” peradaban bangsa Indonesia. Peradaban yang diharapkan itu dapat diwujudkan dengan gerakan dakwah, karena dakwah adalah proses perubahan perilaku dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang salah menjadi benar, dan lurus, dari yang buruk menjadi baik. Semua itu dilakukan dengan dakwah sebetulnya. Dakwah tidak lagi dengan ceramah dimuka umum, atau mimbar masjid. Melainkan dengan berbagai cara dalam menerapkannya, yaitu:
Pertama, dengan peneguhan dan implementasi dari spirit Teologi Al Maun. Tauhid Sosial Surat Al Maun yang terdapat di dalam Al Qur’an yang ditafsirkan oleh K.H. Ahmad Dahlan menyangkut tanggungjawab sosial yang mana ini berujung pada gerakan sosial kemasyarakatan yang memiliki peranan penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Lebih lanjut, Muhammadiyah hadir menawarkan sebuah konsep Islam yang dinamis dalam merespon setiap permasalahan yang terjadi pada masa ini. Haedar Nashir dalam bukunya Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2010), menggambarkan bahwa Muhammadiyah telah berhasil mengantarkan kaum Muslim Indonesia menjalankan perubahan yang dahsyat, dari masyarakat yang tradisional menjadi yang lebih modern, agraris menjadi industrial, pedesaan menjadi perkotaan, feodalistik menjadi lebih egaliter. (Azrul Tanjung, M, dkk, 2015: 128) Ini penulis pikir menjadi sebuah suatu keharusan semangat tauhid sosial surat Al Maun ini perlu di terapkan dalam kehidupan.
Kedua, melaksanakan dakwah Jihad Akademik yang merupakan adanya pengorbanan dalam mencari ilmu, disamping hadirnya romansa atau dinamika kampus. Adanya usaha, kerja keras, ikhtiar dibarengi do’a giat menjalankan akademik dengan belajar mengejar prestasi, ilmu dan pengetahuan yang bermanfaat dengan sebaik-baiknya. Ketiga, menerapkan sikap Altruisme dalam bingkai Muhammadiyah, yang artinya sikap perhatian kepedulian terhadap sesama manusia dilingkungan sekitar kita, tidak acuh tak acuh. Sehingga, menjadikan manusia yang bermanfaat bagi manusia yang lain. Sikap ikhlas untuk ummat dan menenggelamkan sikap egoistik. Nalar yang digunakan dan dirawat Mbah Dahlan dan Generasi Muhammadiyah al awalun adalah nalar altruisme. (Azrul Tanjung, M, dkk, 2015: 239) Aspek yang bersifat pengorbanan ini sangatlah cocok dan bagus jika diterapkan dalam individu hingga kolektif. Keempat, menggelorakan gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar (Q.S. Ali Imran: 104), yaitu gerakan yang menyeru kepada kebaikan, dan mencegah hal-hal yang mungkar. Seperti pada gerakan Filantropi (sikap kedermawanan kepada sesama), selain itu, dengan membangun kelompok diskusi-diskusi interaktif menjadi sebuah pijakan dalam berproses menuju berkembangkan tradisi masyarakat ilmu dalam menciptakan peradaban yang diharapkan.
Itulah mengapa sebagai wujud momentum kepahlawanan ini sudah sepantasnya direfleksikan hingga tataran implementasi-nya. Dalam hal ini, sesungguhnya menciptakan generasi penerus bangsa yang beragama, memiliki jiwa nasionalisme, mempertahankan NKRI, menjaga kesatuan agama, bangsa dan negara adalah sebuah tanggungjawab bersama. Dengan tentu dalam setiap menerjemahkan dan mewujudkan teladan para pahlawan pun dari diri haruslah dilandasi dengan niat yang luhur, berlandasan keimanan-ketauhidan-spiritualitas dalam setiap tindakan yang kita lakukan, agar setiap upaya yang dilakukan dapat diridhoi dan diberi kekuatan-jalan dari Sang Maha Pencipta, Allah SWT.
Yang kemudian, dari upaya-upaya tersebut akan melahirkan gerakan dakwah yang berkemajuan dan mencerahkan, gerakan memanusiakan manusia/filantropi dalam kemanusian universal, menggiatkan semangat literasi dan diskusi-diskusi dengan menghadirkan berbagai wacana dengan dialog-dialog pemikiran kritis-intelektual yang beragam, maupun kontribusi nyata dengan gerakan praksis-sosial kemasyarakatan. Semua itu dimulai dari yang namanya niat yang ikhlas, dan tulus untuk pribadi dalam menyeru berbuat kebaikan, dan mencegah kemungkaran. Menebar kebaikan kepada sesama dengan meng-implementasikan spirit pahlawan-pahlawan bangsa, meneruskan cita-cita & harapan, sudah tentu menjadi konsekuensi logis bersama.
Dengan begitu, semangat generasi bangsa, termasuk mahasiswa dalam menebar kebaikan yaitu dengan membumikan spirit dakwah berkemajuan yang dengan cara meneladani uswah pahlawan bangsa dan negara. Dakwah sebagai metode yang efektif sebagai upaya mencerahkan generasi bangsa, membangun peradaban yang mencerahkan. Dakwah pada hakikatnya adalah seruan dalam berbuat kebaikan. Sehingga menurut Kuntowijoyo (2002), dakwah haruslah berpihak kepada nilai-nilai universal kemanusiaan, menerima kearifan dan kecerdasan lokal, dan mencegah kemungkaran dengan memperhatikan keunikan sifat manusia secara individual dan sosial. Artinya, bukanlah disebut dakwah yang benar jika pada kenyataannya menggunakan cara-cara kekerasan, pemaksaan, dan intimidasi. (Azrul Tanjung, M, dkk, 2015: 130-131)
Terakhir, dalam momentum peringatan hari Pahlawan ini, semoga dapat dimaknai dan ditafsirkan dengan positif, serta dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Belajar berproses dengan tekun, jujur dan baik, menjalankan amanah seorang generasi penerus bangsa, menerapkan sifat Rasulullah SAW (Sidiq, Amanah, Fatonah, Tablig) dalam kehidupan dan tentu meneruskan perjuangan pahlawan-pahlawan yang sudah meninggal dunia, dengan spirit menelaah teladan dan melakukan dakwah yang progresif. Peneguhan gerakan mahasiswa sebagai upaya yang tulus hingga praksis gerakan ini yang dibarengi spirit berkemajuan, seperti layaknya matahari, karena ia mampu mencerahkan siapapun dengan sinarnya. Menyinari dengan ilmu, pengetahuan, karya, kontribusi terbaik yang dimiliki kita. Semoga selalu semangat dalam menjalankan setiap akivitas. Selalu berfikir jernih, dan mari ber-fastabiqul khairat.
*Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Jakarta Selatan,
Ketua Bidang Organisasi PK IMM FISIP UHAMKA Jakarta Selatan
Periode 2017-2018
Referensi:
Azrul Tanjung, M, dkk. 2015. Muhammadiyah “Ahmad Dahlan”; Menemukan Kembali Otentisitas Gerakan Muhammadiyah. Jakarta: STIE AHMAD DAHLAN





